NIKAH SIRI DAN CERITA SURAM BAGI PEREMPUAN
Oleh : CUT ANI VIVIYANTI, SE
Nikah Siri atau sering disebut nikah di bawah tangan, adalah fenomena yang sering terjadi di masyarakat. Walaupun dicap miring, nikah siri masih tetap menjadi pilihan bagi sebagian perempuan untuk mengakhiri masa kesendiriannya.
Di tinjau dari sudut agama, Ulama berpendapat nikah siri sah berdasarkan agama, asal pernikahan tersebut mememuhi rukun-rukun sebuah pernikahan. Hal itu di ungkapkan oleh K.H. Noer Muhammad Iskandar SQ, Pimpinan Pondok Pesantren Asshiddiqiyah. Ia mengatakan Nikah Siri bagi sebagian ulama tetap sah secara agama, asal memenuhi rukun-rukun sebuah pernikahan, aturan negara seperti pencatatan pernikahan hanya sekedar justifikasi formalistik semata.
Pendapat K.H. Noer Muhammad Eskandar SQ tadi mungkin menjadi referensi bagi sebagian masyarakat yang memilih untuk nikah siri. Namun, di sisi lain kalau kita telaah lebih jauh lagi, nikah siri bukan saja hanya membawa sejuta cerita indah bagi perempuan dan anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan siri. Tetapi, lebih jauh lagi catatan perjalanan panjang sebuah nikah siri dapat menjadi sebuah cerita suram bagi perempuan dan anak-anak yang akan dilahirkan. Betapa tidak, pernikahan yang seharusnya dicatat pada kantor catatan sipil /KUA ( Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974) sebagai bentuk pelegalan/pengakuan terhadap kekuatan sebuah perkawinan, dapat menjadi pegangan hukum dalam penyelesaian sebuah kasus dalam rumah tangga (perceraian).
Bagi pihak perempuan (istri), perkawinan di bawah tangan berdampak sangat merugikan secara hukum maupun sosial. Secara hukum negara, dia tidak di anggap sebagai istri sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika sang suami meninggal dunia, serta tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi perpisahan. Karena, secara hukum perkawinan dianggap tidak pernah terjadi. Secara sosial istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan, sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan alias kumpul kebo atau dianggap menjadi istri simpanan.
Sementara dampak kerugian terhadap anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan siri yaitu terkait dengan status anak sendiri. Pertama. status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya si Anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya. Di dalam akte kelahirannya pun, statusnya dianggap sebagai anak luar nikah. Sehingga, hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkanya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi sianak dan ibunya. Kedua, ketidakjelasan status si anak di muka hokum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat. Sehingga bisa saja sewaktu-waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut bukan anak kandungnya. Ketiga, yang sangat jelas kerugianya adalah anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya.
Bagaimana dengan pihak suami sendiri? Hampir dipastikan tidak ada dampak sedikit pun yang mengkawatirkan atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang perempuan. Yang terjadi justru menguntungkannya. Karena, pertama, suami bebas menikah lagi sebab perkawinan sebelumnya yang di bawah tangan dianggap tidak sah di mata hukum. Kedua, suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberi nafkah baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya. Ketiga tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain.
MENIMBANG ASPEK KEMASLAHATAN
Maria Ulfa Anshor, Ketua umum pimpinan pusat fatayat Nahdalatul ulama mengatakan, meski ada yang berpendapat sah terhadap nikah siri, namun seyogyanya hukum agama harus dilihat secara konstektual. Kecendrungan orang melihat agama secara tekstual saja. Padahal secara konstektual, syariat Islam dibuat untuk memperoleh kemaslahatn umatnya. Bagi Maria, Fiqih seharusnya tidak dilihat secara tekstual hitam - putih atau seperti oposisi biner, tetapi mesti dilihat dari dasar pembentukan syariah tersebut.
Jika terjadi tarik menarik antara dua hal yang berbeda, antara agama dan negara maka carilah yang paling banyak mendatangkan maslahat dan yang paling sedikit mudharatnya. Jika pernikahan tidak dicatat atau diatur oleh negara, lalu berdampak pada kekerasan terhadap perempuan dan anak, apakah hal ini bisa di anggap maslahat?
Sebenarnya, persoalan yang melahirkan momok dalam nikah siri memang bertolak dari dua problem. Di damping persoalan I’lan (pengumuman dan penyebarluasan berita) nikah di samping persoalan lainya yaitu pencatatan pernikahan oleh negara yang mewujud dalam bentuk akte nikah. Pada mulanya, syariat islam memang tidak mengatur secara kongkrit ihwal pencatatan sebuah pernikahan, namun tuntutan perkembangan zaman dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, hukum di indonesia mengalami metamorfosis, untuk itu, lalu pencatatan pernikahan di atur secara tegas.
Hakikatnya pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan di tengan masyarakat, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Dengan akte nikah, suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Bukti otentik semacam ini sangat urgen sebagai tali pengikat tanggung jawab semua pihak agar terjamin nilai keadilan dan ketertiban yang menjadi pilar utama tegaknya kehidupan rumah tangga.
Banyak kasus yang terjadi dalam sebuah pernikahan siri hanya bisa diselesaikan dengan itikad baik yang menggunakan hati nurani dari pihak laki-laki. Selebihnya, perempaun hanya bisa pasrah menerima apapun yang diputuskan sepihak oleh laki-laki tanpa bisa membela diri dengan kekuatan hukum yang melandasi sebuah pernikahan.
Dari sekelumit cerita di atas, kalau memang ada cara yang aman untuk melakukan sebuah pernikahan. Mengapa nikah siri masih menjadi pilihan perempuan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar