Kamis, 25 Juni 2009

Pemilu dan Hak Suara Perempuan Buta Aksara

Pemilu dan Hak Suara Perempuan Buta Aksara
Oleh : Eva Khovivah

Suatu sore, di satu gampong relokasi di Aceh Besar, sekerumunan ibu-ibu sedang asyik ngobrol soal caleg yang baru berkampanye. Penulis ikut bergabung dalam kerumunan itu. Bu, Nursiah [35], dengan penuh semangat, bercerita “Kemarin kami dikumpulin di satu rumah warga, ada caleg yang datang. Dia ngomong ini itu lah. Kami dengerin aja dia ngomong apa. Gak sampe satu jam, si caleg selesai bicara. Kami dikasih kesempatan bertanya. Akhirnya saya tanya saja. Kalau and menang, apa yang mau anda berikan kepada kam? Kalau menang nant,i apakah benar janjinya ditepati ? Diapun berjanji akan mebuat satu balai pertemuan buat kami. Kami minta saja nomor hpnya, kami pasti bakal terus ingat apa yang sudah di janjikan, he he. Setelah itu dia berikan kami sarung, dan yasin yang ada namanya.

Seorang ibu lain menceritakan pengalamannya; “Saya 13 bersaudara. Sewaktu masih kecil-kecil, kami tidak boleh sekolah. Karena kakek kami bilang dulu ada kerajaan di gampong kami yang melarang sekolah. Pakai topi juga kami dilarang. Jadilah kami enggak sekolah. Kami hanya pergi mengaji. Itupun hanya 6 bulan. Kalau kamu minta kakak sekarang mengaji, sudah payah juga. Ia tersenyum. Hidup kakak keras, dulu hanya ikut orang tua ke kebun. Suami kakak sudah almarhum. Dia mati di tembak waktu masih konflik. Karena buta aksara, kakak pernah ditipu saat diminta tanda tangan pengurusan harta suami yang masih ada. Tetapi itu tidak sampai ke tangan kakak. Kakak tahu memang tidak bisa baca tulis. Namuni mengapa orang itu tega sekali sama kakak. Padahal sebenarnya itu kan hak kedua anak kakak juga.

Masih dalam kerumunan itu, bu Ida [29], juga bertanya ke penulis; Besok waktu milih, bagaimana caranya ? Kami belum ngerti lah. Apalagi kami tidak bisa baca tulis. Katanya sekarang tidak dicoblos ya ? Tetapi dicontreng itu sepertiapa ya? Lalu penulis menanyakan bagaimana ketika pemilu nanti ? Apakah memilih atau tidak ? Ia mengatakan ; “Iya, saya akan ikut milih, tetapi saya akan menunggu apa yang dibilang keuchik, maka itulah yang saya pilih.

Inilah contoh realitas sebagian kaum perempuan dalam menghadapi musim pemilu 2009 yang kini tinggal beberapa hari lagi. Sayangnya, kondisi seperti ini luput dari perhatian para pelaksana pemilu. Padahal, keadaan nyata di lapangan, masih sangat banyak perempuan yang buta aksara.

Di Indonesia angka buta aksara perempuan mencapai 15,5% juta orang (9,07% ) dari total penduduk [ aksara, September-Desember 2005 ]. Prosentase penduduk di atas usia 10 tahun yang masih buta aksara adalah 10,1%. Angka ini ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand dan Philippine yang prosentase keaksaraannya di bawah 7%. (KOMPAS, 6 September 2008).

Untuk konteks Aceh, jumlah usia 15 – 44 tahun, yang buta aksara sebanyak 44.833 orang. Dari jumlah itu, perempuan mendominasi, mencapai 28.238 orang. Hasil survey kepala keluarga yang pernah dilakukan oleh KAPAL Perempuan di 3 wilayah relokasi di Aceh Besar, medio Februari-Maret 2008, ditemukan 12,8% anggota keluarga buta aksara latin. Dari jumlah ini, 80,4% memiliki 1 orang anggota keluarga yang buta aksara dan 19,6% memiliki 2-3 orang anggota keluarga buta aksara latin. [Laporan Ringkas Survey Kerumahtanggaan di Tiga Desa Relokasi, September 2008 ].

Di Sumatera Barat, diperkirakan ada 10% perempuan yang akan kesulitan menggunakan hak pilihnya karena buta huruf. Di Lamongan ada 10.774 warga usia 45-60 tahun belum melek huruf ( Kompas.com, 4 Maret 2009). Ada 80% warga kota Makassar tidak paham cara mencontreng. [ antara-sulawesiselatan.com, 2 Februari 2009 ].

Hingga kini, buta aksara masih menjadi bahagian dari keseharian kita. Maka, penting untuk terus mengkampanyekan hak perempuan marginal mendapatkan pendidikan bermutu dan tanpa biaya. Karena pada tingkat tertentu akan membantu pencapaian target Education For All (EFA) atau Pendidikan Untuk Semua (PUS) yang ditandatangani di Jomtien tahun 1990 dan Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2000 yang telah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia. Kedua deklarasi ini memandatkan negara-negara yang menandatanganinya untuk memastikan terhapusnya kesenjangan gender di semua level pendidikan dan meningkatnya 50% perempuan melek huruf pada tahun 2015.

Penyebab umum buta aksara adalah karena mereka tidak pernah bersekolah sama sekali atau putus sekolah yang disebabkan oleh banyak faktor yang diantaranya adalah faktor budaya, sosial, politik, ekonomi, dan gender. Akibat dari keterbatasan pengetahuan dan informasi karena buta aksara, banyak perempuan menjadi tidak percaya diri dalam menentukan pilihan politiknya. Masih banyak perempuan lain yang buta aksara. Ini akan berdampak buruk pada Pemilu 2009 ini. Mereka akan dihadapkan pada kebimbangan politis dalam menentukan nasib dirinya dan masa depan bangsa. Di wilayah relokasi Aceh Besar, para perempuan yang buta aksara justru tidak mengenal dekat para caleg yang akan memutuskan kebijakan-kebijakan penting di parlemen. Selain itu, mereka juga tidak mengetahui program-program yang diusung oleh partai-partai tententu dan misi-misi yang akan diperjuangkan oleh para caleg. Kini belum ada caleg atau partai politik yang berani mengajak perempuan buta aksara menandatangani kontrak politik untuk memastikan nasib mereka akan diperjuangkan pada parlemen 2009. Kenyataan pahit lain, mereka belum mendapatkan informasi jelas mengenai mekanisme pemilu 2009 ini.

Dalam pertemuan kelompok perempuan buta aksara di wilayah relokasi, terefleksikan bagaimana hak perempuan buta aksara menggunakan hak pilihnya. Apakah metode mencontreng ramah terhadap perempuan, khususnya perempuan buta aksara? Kekhawatiran terbesar kita adalah bagaimana bila jumlah pemilih pada pemilu ini, mayoritas terdiri dari suara pemilih perempuan? Fakta bahwa pendidikan belum merata dirasakan oleh warga negara terutama perempuan. Meskipun anggaran pendidikan sudah dinaikkan 20% dari APBN. Belum lagi persoalan privatisasi yang telah merambah dunia pendidikan yang mengakibatkan masyarakat miskin semakin sulit mendapatkan akses terhadap pendidikan. Selain itu, alokasi anggaran yang besar untuk pemilu terutama biaya cetak kertas suara, pembiayaan operasional KPU, dan kebutuhan-kebutuhan lain dalam pemilu dirasakan kurang tepat sasaran. Kalau saja masih ada para pemilih, nantinya tidak mendapatkan informasi mengenai tata cara mencontreng dengan benar atau hasil pemilu menunjukkan banyak kertas suara yang rusak akibat salah mencontreng. Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab atas fakta ini ?

Siapkah perempuan buta aksara memilih ?
Memilih dengan mencontreng akan rawan kesalahan. Tidak hanya perempuan buta aksara. Namun, juga mereka yang kurang cukup tersosialisasi mengenai tata cara mencontreng yang benar. Kemungkinan kertas suara dimanipulasi sangat besar. Apalagi waktu perhitungan relatif lebih lama. Kemudian, bentuk kertas suara yang berbeda dari pemilu sebelumnya. Jumlah partai dan nama caleg relatif lebih banyak. Bila benar kertas suara dalam pemilihan nanti tidak menyertakan foto caleg dan hanya menyertakan lambang partai dan nama caleg saja, maka ini akan menjadikan pemilih buta aksara lebih bimbang dan kesulitan.

Perubahan cara memilih dari mencoblos menjadi mencontreng, seharusnya diikuti oleh sosialisasi yang lebih intens pada semua lapisan masyarakat. Bagi kelompok perempuan buta aksara, model sosialisasi melalui media massa dan elektronik kurang efektif. Pesan-pesan yang ingin disampaikan kurang dapat mereka serap. Simulasi dan komunikasi dua arah dipandang tepat. Model sosialisasi yang tepat sasaran tentunya sangat berpengaruh positif bagi kelompok pemilih buta aksara. Apalagi, mencontreng adalah model yang masih sangat baru. Fakta menunjukkan masih banyak pemilih khususnya perempuan belum memahami betul bagaimana cara mencontreng yang benar. Bukanlah sebuah kesalahan, bila kita menginginkan pemilu ini sukses, maka kelompok pemilih buta aksara terutama perempuan harus mendapatkan perlakukan khusus.


Eva Khovivah. Staff KAPAL Perempuan untuk Pendidikan dan Pengorganisasian Perempuan. Tulisan ini terinspirasi dari pengalaman nyata bersama ibu-ibu yang penulis dampingi di wilayah relokasi Aceh Besar. Berdasarkan pengalaman ini, ada pembelajaran penting untuk kita renungi bersama menjelang pemilu yang semakin dekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar